Minggu, 11 Oktober 2015

Pekerja Anak


Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, dalam artikel kali ini saya ingin membahas tentang pekerja dibawah umur atau pekerja anak. Berawal dari keprihatinan saya, saat ini banyak anak-anak di bawah umur yang putus sekolah karena disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor ekonomi, psikologi dan sebagainya. Sebelum kita mendalami lebih jauh mari kita cari tahu apa itu sebenarnya pekerja anak.


Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.

Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Dengan demikian, anak-anak tersebut bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa orang lain.
Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak manusia.

Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.

Banyaknya anak-anak dibawah umur yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak memperoleh pendidikan secara layak menyebabkan para anak-anak bekerja. Pekerja anak lebih memilih membantu orangtua untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena faktor kemiskinan. Dalam keluarga miskin, anak-anak umumnya bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena mereka telah diberi makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali mendapatkan upah yang tidak layak.

Orang tua menyadari bahwa memang pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk kelangsungan masa depan anak-anak mereka. Hanya saja dikarenakan faktor biaya, akhirnya anak-anak mereka harus berhenti bersekolah, lalu bekerja mencari penghasilan tambahan. Mereka menganggap bahwa pendidikan bukan merupakan hal yang penting lagi, terlebih subjek berpikir bagaimana cara agar keluarganya tetap bertahan, yaitu dengan menyuruh anaknya bekerja serta mengorbankan sekolah anak. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak seperti halnya yang terjadi pada subjek inilah yang menjadi penyebab munculnya pekerja anak dibawah umur sesuai dengan keterangan UNICEF sebagai badan perlindungan anak sedunia dalam PBB. Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya praktek eksploitasi adalah faktor nilai nilai budaya masyarakat dimana anak merupakan tempat bergantung dihari tua semua subjek mengakui bahwa anak merupakan tempat bergantung satu-satunya bagi mereka kelak, anak memiliki nilai ekonomis tertentu sehingga para orang tua merasa senang dengan bekerjanya anak-anak mereka dimana dengan anak-anak mereka bekerja, berarti para orang tua memiliki pendapatan tambahan, anak menjadi tenaga kerja untuk membantu ekonomi keluarga, dimana orang tua secara sengaja mempekerjakan anak-anak mereka agar dapat membantu ekonomi keluarga, serta faktor kemiskinanlah yang menjadi penyebab para orang tua ini mempekerjakan anaknya yang masih dibawah umur sebagai buruh pabrik.

Siapa yang diuntungkan? Lebih parahnya dalam era industrialisasi sekarang, pengusaha industri justru memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pekerja anak. Bahkan pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa bekerja secara produktif seperti orang dewasa umumnya, apalagi pekerja anak tersebut tidak banyak ulah dan bisa diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Berbeda dengan pekerja dewasa (apalagi memiliki serikat pekerja) yang sewaktu-waktu bisa “memberontak” dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan upah.

Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Dalam beberapa kajian, mayoritas pekerja anak bekerja lebih dari 7 jam per hari. Padahal berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak.

Apa yang akan terjadi ? Pekerja anak tersebut akan kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar. Bagaimanapun juga mereka akan kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak rentan putus sekolah.
Sekali lagi, kemiskinan struktural yang tidak bisa ditangani oleh negara merupakan faktor utama yang memaksa anak-anak tersebut kehilangan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akhirnya layu sebelum berkembang. Kemiskinan memaksa mereka bekerja, dan kemungkinan besar mereka juga akan mewariskannya kepada anak-anaknya kelak. Sehingga kemiskinan dan pekerja anak ini bagaikan rantai yang tidak bisa diputus.

Apa yang harus dilakukan ? Bagi para orang tua yang memiliki anak dibawah umur namun mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka dikarenakan faktor ekonomi, sebaiknya mengkaji kembali keuntungan serta kerugian jika mereka mempekerjakan anak mereka pada tempat yang memiliki kondisi kerja yang tidak sesuai untuk anak dibawah umur, seharusnya orang tua tidak memaksakan kehendak mereka untuk mempekerjakan anak mereka, meski dalam hal ini mempekerjakan anak merupakan hal yang cukup menguntungkan bagi kelangsungan hidup keluarga, namun para orang tua seharusnya menyadari bahwa dengan mempekerjakan anak-anak mereka, berarti para orang tua telah mengorbankan kebebasan serta hak-hak anak. Bagi pihak pabrik, hendaknya mengkaji ulang peraturan yang ada apakah sudah sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan atau belum sesuai.

Bagi masyarakat pada umumnya, hendaknya mereka meningkatkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap warga lain di sekitar tempat tinggalnya, dimana masyarakat yang secara ekonomi lebih mampu daripada masyarakat yang lainnya, hendaknya mereka memberikan bantuan baik itu berupa modal usaha maupun dengan menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu agar mereka dapat bersekolah. Bagi pemerintah khususnya, pemerintah mengkaji ulang peraturan ketenagakerjaan serta mensosialisasikan undang-undang dan konvensi hak-hak anak kepada masyarakat lewat kegiatan ditiap RT ataupun RW setiap bulannya dengan konsep yang berbeda beda  agar pemerintah dapat menindak tegas pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini pihak yang menyebabkan terjadinya praktek eksploitasi, baik itu orang tua maupun pihak-pihak lain seperti pihak pabrik yang mempekerjakan anak dibawah umur.

Memang pemerintah sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelamatkan anak miskin melalui pemberian beasiswa. Tetapi hal ini tidak cukup karena persoalan utamanya adalah kemiskinan struktural. Artinya, selama roda kemiskinan struktural berputar maka pekerja anak akan tetap menjamur. Pemberian beasiswa bagi anak miskin hanya ibarat memadamkan kebakaran. Oleh sebab itu, selain memberikan bantuan subsidi, pemerintah harus serius memberdayakan rakyat miskin dengan menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan.
Selain itu, semua pihak hendaknya menyadari bahwa persoalan anak bukan hanya tanggung jawab rumah tangga tetapi juga merupakan tanggung jawab publik. Di sinilah dibutuhkan upaya yang serius dari pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat untuk melindungi anak khususnya pekerja anak. Semoga hal ini menjadi sebuah kegelisahan bersama yang melahirkan gerakan dan langkah konkrit untuk menyelamatkan anak Indonesia. Karena masa depan bangsa ada di tangan mereka.

Sekian artikel kali ini mengenai pekerja anak, semoga kedepannya eksploitasi terhadap anak dapat dihentikan tentu saja dengan kerja sama semua pihak, terima kasih Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Sumber : 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar