Pekerja anak adalah
sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat
memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga
mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian
mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak
adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya,
untuk orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar
waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Dengan demikian, anak-anak tersebut
bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa
orang lain.
Meskipun ada beberapa anak yang
mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak
tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak
diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok
hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak
manusia.
Penggunaan anak kecil sebagai
pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia,
dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengijinkan karena keluarga
seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan
kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.
Banyaknya anak-anak dibawah umur
yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak memperoleh pendidikan secara
layak menyebabkan para anak-anak bekerja. Pekerja anak lebih memilih membantu
orangtua untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Faktor utama yang
menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena faktor kemiskinan. Dalam
keluarga miskin, anak-anak umumnya bekerja demi meningkatkan pendapatan
keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak
mendapatkan upah karena mereka telah diberi makan. Sebagai buruh, anak-anak
tersebut seringkali mendapatkan upah yang tidak layak.
Orang tua menyadari bahwa memang
pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk kelangsungan masa depan
anak-anak mereka. Hanya saja dikarenakan faktor biaya, akhirnya anak-anak
mereka harus berhenti bersekolah, lalu bekerja mencari penghasilan tambahan.
Mereka menganggap bahwa pendidikan bukan merupakan hal yang penting lagi,
terlebih subjek berpikir bagaimana cara agar keluarganya tetap bertahan, yaitu
dengan menyuruh anaknya bekerja serta mengorbankan sekolah anak. Dapat
disimpulkan bahwa kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi masa
depan anak seperti halnya yang terjadi pada subjek inilah yang menjadi penyebab
munculnya pekerja anak dibawah umur sesuai dengan keterangan UNICEF sebagai
badan perlindungan anak sedunia dalam PBB. Faktor lain yang menjadi penyebab
terjadinya praktek eksploitasi adalah faktor nilai nilai budaya masyarakat
dimana anak merupakan tempat bergantung dihari tua semua subjek mengakui bahwa
anak merupakan tempat bergantung satu-satunya bagi mereka kelak, anak memiliki
nilai ekonomis tertentu sehingga para orang tua merasa senang dengan bekerjanya
anak-anak mereka dimana dengan anak-anak mereka bekerja, berarti para orang tua
memiliki pendapatan tambahan, anak menjadi tenaga kerja untuk membantu ekonomi
keluarga, dimana orang tua secara sengaja mempekerjakan anak-anak mereka agar
dapat membantu ekonomi keluarga, serta faktor kemiskinanlah yang menjadi
penyebab para orang tua ini mempekerjakan anaknya yang masih dibawah umur
sebagai buruh pabrik.
Siapa yang
diuntungkan? Lebih parahnya dalam era industrialisasi sekarang,
pengusaha industri justru memperoleh keuntungan yang sangat besar dari pekerja
anak. Bahkan pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa bekerja secara
produktif seperti orang dewasa umumnya, apalagi pekerja anak tersebut tidak
banyak ulah dan bisa diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja,
pekerja anak tersebut bisa dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Berbeda dengan
pekerja dewasa (apalagi memiliki serikat pekerja) yang sewaktu-waktu bisa
“memberontak” dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan upah.
Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya
soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan
kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa.
Dalam beberapa kajian, mayoritas pekerja anak bekerja lebih dari 7 jam per
hari. Padahal berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia
kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun hanya boleh bekerja
3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per hari tetapi dalam
kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan di lapangan,
pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja rata-rata selama
6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor berbahaya
dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak.
Apa yang akan terjadi ?
Pekerja anak tersebut akan kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara
wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan
masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan
mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus
sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena
mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar.
Bagaimanapun juga mereka akan kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh
karena itu, pekerja anak rentan putus sekolah.
Sekali lagi, kemiskinan struktural yang tidak bisa
ditangani oleh negara merupakan faktor utama yang memaksa anak-anak tersebut
kehilangan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik. Mereka
akhirnya layu sebelum berkembang. Kemiskinan memaksa mereka bekerja, dan
kemungkinan besar mereka juga akan mewariskannya kepada anak-anaknya kelak.
Sehingga kemiskinan dan pekerja anak ini bagaikan rantai yang tidak bisa
diputus.
Apa yang
harus dilakukan ? Bagi para orang tua yang memiliki anak dibawah umur
namun mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka dikarenakan faktor
ekonomi, sebaiknya mengkaji kembali keuntungan serta kerugian jika mereka
mempekerjakan anak mereka pada tempat yang memiliki kondisi kerja yang tidak
sesuai untuk anak dibawah umur, seharusnya orang tua tidak memaksakan kehendak
mereka untuk mempekerjakan anak mereka, meski dalam hal ini mempekerjakan anak
merupakan hal yang cukup menguntungkan bagi kelangsungan hidup keluarga, namun
para orang tua seharusnya menyadari bahwa dengan mempekerjakan anak-anak
mereka, berarti para orang tua telah mengorbankan kebebasan serta hak-hak anak.
Bagi pihak pabrik, hendaknya mengkaji ulang peraturan yang ada apakah sudah
sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan atau belum sesuai.
Bagi masyarakat pada umumnya, hendaknya mereka
meningkatkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap warga lain di sekitar tempat
tinggalnya, dimana masyarakat yang secara ekonomi lebih mampu daripada
masyarakat yang lainnya, hendaknya mereka memberikan bantuan baik itu berupa
modal usaha maupun dengan menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga
yang kurang mampu agar mereka dapat bersekolah. Bagi pemerintah khususnya,
pemerintah mengkaji ulang peraturan ketenagakerjaan serta mensosialisasikan
undang-undang dan konvensi hak-hak anak kepada masyarakat lewat kegiatan ditiap
RT ataupun RW setiap bulannya dengan konsep yang berbeda beda agar pemerintah
dapat menindak tegas pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam hal ini
pihak yang menyebabkan terjadinya praktek eksploitasi, baik itu orang tua
maupun pihak-pihak lain seperti pihak pabrik yang mempekerjakan anak dibawah
umur.
Memang pemerintah sudah melakukan beberapa upaya untuk
menyelamatkan anak miskin melalui pemberian beasiswa. Tetapi hal ini tidak
cukup karena persoalan utamanya adalah kemiskinan struktural. Artinya, selama
roda kemiskinan struktural berputar maka pekerja anak akan tetap menjamur.
Pemberian beasiswa bagi anak miskin hanya ibarat memadamkan kebakaran. Oleh
sebab itu, selain memberikan bantuan subsidi, pemerintah harus serius
memberdayakan rakyat miskin dengan menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan.
Selain itu, semua pihak hendaknya menyadari bahwa
persoalan anak bukan hanya tanggung jawab rumah tangga tetapi juga merupakan
tanggung jawab publik. Di sinilah dibutuhkan upaya yang serius dari pemerintah
maupun seluruh elemen masyarakat untuk melindungi anak khususnya pekerja anak.
Semoga hal ini menjadi sebuah kegelisahan bersama yang melahirkan gerakan dan
langkah konkrit untuk menyelamatkan anak Indonesia. Karena masa depan bangsa
ada di tangan mereka.
Sekian artikel kali ini mengenai pekerja anak, semoga
kedepannya eksploitasi terhadap anak dapat dihentikan tentu saja dengan kerja
sama semua pihak, terima kasih Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar